Konsep Evaluasi Secara Psikologis
1. Definisi Evaluasi
Kata evaluasi berasal dari Bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran. Sedangkan menurut istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.
Padanan kata evaluasi adalah statement yang menurut Tardif (1989) berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Sedangkan Edwind Wandt dan Gerald w. Brown (1977) mengatakan bahwa evaluasi pendidikan adalah: evaluation refer to the act or process to determining the value of something. Sesuatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.Dari pendapat yang dikemukakan oleh Edwind Wandt dan Gerald W. Brown yang memberikan definisi tentang Evaluasi pendidikan, maka evaluasi itu sendiri dapat diartikan Suatu tindakan atau kegiatan ( yang dilaksanakan dengan maksud untuk) atau suatu proses ( yang berlangsung dalam rangka ) menentukan nilai dari segala sesuatu.
Ulangan dan Ulangan Umum atau THB (tes hasil belajar) dan TPB (tes prestasi belajar) adalah alat ukur yang digunakan untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah proses belajar mengajar atau pengajaran. Sementara itu, istilah evaluasi di Indonesia dipandang sebagai ujian akhir jenjang pendidikan (UN).
2. Tujuan dan Fungsi Evaluasi
Asessment menurut Petty (2004) adalah mengukur keluasan dan kedalaman belajar, sedangkan evaluasi yang berarti pengungkapan dan pengukuran hasil belajar yang pada dasarnya proses penyusunan deskripsi siswa baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Namun, kebanyakan pelaksanaan evaluasi cenderung dilakukan secara kualitatif, karena penggunaan simbol angka untuk menentukan kinerja siswa dianggap nisbi. Walaupun begitu, guru yang piawai dan profesional akan berusaha mencari kiat evaluasi yang lugas, tuntas, dan meliputi seluruh kemampuan ranah cipta, rasa, dan karsa siswa.
1. Tujuan Evaluasi
Pertama, untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu kurun waktu proses belajar tertentu. Hal ini berarti dengan evaluasi guru dapat mengetahui kemajuan perubahan tingkah laku sebagai hasil proses belajar dan mengajar yang melibatkan dirinya selaku pembimbing dan pembantu kegiatan belajar siswanya itu.
Kedua, untuk mengetahui posisi atau kedudukan seorang siswa dalam kelompok kelasnya. Dengan demikian, hasil evaluasi itu dapat dijadikan guru sebagai
alat penetap apakah siswa tersebut termasuk kategori cepat, sedang, atau lambat dalam arti mutu kemampuan belajarnya.
Ketiga, untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar. Hal ini berarti dengan evaluasi guru dapat mengetahui gambarang tingkat usaha siswa. Hasil yang baik pada umumnya menunjukan tingkat usaha yang efisien, sedangkan hasil yang buruk adalah cerminan usaha yang tidak efisien.
Keempat, untuk mengetahui segala usaha siswa dalam mendayagunakan kapasitas kognitifnya untuk keperluan belajar. Jadi, hasil evaluasi bisa dijadikan sebagai gambaran realisasi pemanfaatan kecerdasan siswa.
Kelima, untuk mengetahui tingkat dayaguna dan hasil guna metode mengajar yang telah digunakan guru dalam proses belajar-mengajar. Dengan demikian, apabila sebuah metode yang digunakan guru tidak mendorong munculnya prestasi belajar siswa yang memuaskan, guru amat dianjurkan mengganti atau mengkombinasikannya dengan metode yang serasi.
Berdasarkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 58 (1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Oleh karena itu, evaluasi belajar seyogianya dilakukan oleh guru secara terus-menerus dengan berbagai cara, bukan hanya pada saat-saat ulangan terjadwal atau saat ujian belaka.
Tujuan evaluasi adalah:
a. Menentukan angka kemajuan atau hasil belajar pada siswa. Yang berfungsi sebagai:
· Laporan kepada orang tua / wali siswa.
· Penentuan kenaikan kelas
· Penentuan kelulusan siswa.
b. Penempatan siswa ke dalam situasi belajar mengajar yang tepat dan serasi dengan tingkat kemampuan, minat dan berbagai karakteristik yang dimiliki.
c. Mengenal latar belakang siswa (psikologis, fisik dan lingkungan) yang berguna baik bagi penempatan maupun penentuan sebab-sebab kesulitan belajar para siswa, yakni berfungsi sebagai masukan bagi tugas Bimbingan dan Penyuluhan (BP).
d. Sebagai umpan balik bagi guru, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan program remdial bagi siswa.
2. Fungsi Evaluasi
Disamping memiliki tujuan, evaluasi belajar juga memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:
a. Fungsi administratif untuk menyusun daftar nilai dan pengisian buku rapor.
b. Fungsi promosi untuk menetapkan kenaikan atau kelulusan,
c. A program remedial teching (pengerjaan perbaikan),
d. Sumber data BK untuk memasok data siswa tertentu yang memerlukan bimbingan dan konseling (BK),
e. Bahan pertimbangan pengembangan masa yang akan datang yang meliputi pengembangan kurikulum, metode dan alat-alat PMB.
Evaluasi juga mempunyai fungsi Kurikuler (alat pengukur ketercapaian tujuan mata pelajaran), instruksional (alat ukur ketercapaian tujuan proses belajar mengajar), dan placement (penempatan siswa sesuai dengan bakat dan minatnya, serta kemampuannya).
Selanjutnya, selain memiliki fungsi-fungsi seperti diatas, evaluasi juga mengandung fungsi psikologis yang cukup signifikan bagi siswa, guru, maupun orangtua siswa. Bagi siswa, penilaian guru merupakan alat bantu untuk mengatasi kekurangmampuan atau ketidakmampuannya dalam menilai kemampuan dan kemajuan dirinya sendiri. Dengan menegtahui taraf dan kemampuan dirinya sendiri, siswa memiliki self-conciousness, kesadaran yang lugas mengenai eksistensi dirinya sendiri, dan juga metacognitive, pengetahuan yang benar mengenai batas kemampuan akal sendiri (Mulcahy et al, 1991). Dengan demikian, siswa diharapkan mampu menentukan status dan posisinya secara tepat diantara teman-teman dan masyarakatnya sendiri.
Bagi orang tua atau wali siswa, evaluasi itu dibutuhkan akan pengetahuan mengenai hasil usaha dan tanggungjawabnya mengembangkan potensi anak akan terpenuhi. Pengetahuan seperti ini dapat mendatangkan rasa pasti kepada orangtua dan wali siswa dalam menentukan langkah-langkah bagi lanjutan pendidikan anaknya.
Sedangkan bagi para guru sendiri (sebagai evaluator) hasil evaluasi prestasi tersebut dapat membantu mereka dalam menentukan warna sikap “efikasi-diri” dan “efikasi-kontekstual”.
Disamping itu, evaluasi prestasi belajar sudah tentu juga berfungsi melaksanakan ketentuan konstitusional sebagaimana terdapat dalam
UU Sisdiknas No. 20/2003 Bab XVI pasal 57 (1) yang berbunyi: “evaluasi pendidikan dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan”.
3. Ragam Evaluasi
Pada prinsipnya, evaluasi hasil belajar merupakan kegiatan berencana dan berkesinambungan. Oleh karena itu, ragamnya pun banyak, mulai yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.
A. Pre test dan post test
Kegiatan pre test dilakukan guru secara rutin pada setiap akan memulai penyajian materi baru. Tujuannya ialah untuk mengidentifikasi taraf pengetahuan siswa mengenai bahan yang akan disajikan.
Post test adalah kebalikan dari pre test, yakni kegiatan evaluasi yang dilakukan guru pada setiap akhir penyajian materi. Tujuannya adalah untuk mengetahui taraf penguasaan siswa atas materi yang telah diajarkan.
B. Evaluasi Prasyarat
Evaluasi jenis ini sangat mirip dengan pre test. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi penguasaan siswa atas materi lama yang mendasari materi baru yang diajarkan.
C. Evaluasi Diagnostik
Evaluasi ini dilakukan setelah selesai penyajian sebuah satuan pelajaran dengan tujuan mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa. Instrumen evaluasi jenis ini dititikberatkan pada bahasan tertentu yang dipandang telah membuat siswa mendapatkan kesulitan.
D. Evaluasi Formatif
Evaluasi jenis ini kurang lebih sama dengan ulangan yang dilakukan pada setiap akhir penyajian satuan penyajian satuan pelajaran atau modul. Tujuannya yaitu untuk mengetahui kesulitan belajar siswa.
E. Evaluasi Sumatif
Ragam penilaian sumatif dilakukan untuk mengukur kinerja akademik atau prestasi belajar siswa pada akhir periode pelaksanaan program pengajaran. Hasilnya dijadikan bahan laporan resmi mengenai kinerja akdemik siswa dan bahan penentu naik atau tidaknya siswa ke kelas yang lebih tinggi.
F. UAN
Ujian Akhir Sekolah pada prinsipnya sama dengan evaluasi sumatif dalam arti sebagai alat penentu kenaikan status siswa. Namun, UAN dirancang untuk siswa yang telah menduduki kelas tertinggi pada suatu jenjang pendidikan tertentu.
4. Syarat dan Ragam Alat Evaluasi
A. Syarat Evaluasi
Persyaratan pokok penyusunan alat evaluasi yang baik dalam persfektif psikologi belajar (The psychology of learning) melihat dua macam, yakni : 1) reliabilitas; 2) validitas (Butler, 1990 :98). Persyaratan lainnya adalah objektif,diskriminatif dan sebagainya yang dikemukakanoleh kebanyakan penyusun buku psikologipendidikan dan buku ilmu-lmu kependidikan pada umumnya.
Reliabilitas secara sederhana berartitahan uji atau dapat dipercaya. Sebuah alat evaluasi dipandang reliabel atau tahan uji, apabilamemiliki konsistensi (ketetapan) dankeajeganhasil. Artinya apabila alat itu diujikan kepadakelompok siswa pada waktu tertentu menghasilkanprestasi “ X “, maka prestasi yang sama atau hampir sama dengan “ X “ itu dapat pula dicapai kelompok siswa tersebut setelah diuji ulang dengan alat yang sama pada waktu yang lain.
Validitas pada prinsipnya berarti keabsahan atau kebenaran. Sebuah alat evaluasi dipandang valid (absah) apabila dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Contohnya, apabila sebuah alat evaluasi bertujuan mengukur prestasi belajar matematika, maka item-item dalam alat itu hendaknya hanya direkayasa untuk mengukur kemampuan matematis para siswa. Kemampuan-kemampuan lainnya yang tidak relevan, seperti kemampuan dalam bidang bahasa, IPS dan sebagainya tidak perlu diukur oleh instrumen
evaluasi matematika tersebut.
B. Ragam Alat Evaluasi
Muhibbinsyah (2003 : 201) menggolongkan teknik evaluasi ke dalam pembagian ragam alat evaluasi. Menurutnya secara garis besar ragam alat evaluasi terdiri atas dua macam bentuk, yaitu : 1). Bentuk objektif; 2). Bentuk subjektif. Bentuk objektif biasanya diwujudkan dalam bentuk-bentuk alternatif jawaban, pengisian titik-titik dan pencocokan satu pernyataan dengan pernyataan lainnya.
1. Bentuk Objektif .
Bentuk ini lazim disebut tes objektif, yakni tes yang jawabannya dapat diberi skor nilai secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang ditentukan sebelumnya. Ada lima macam yang termasuk dalam evaluasi ragam objektif ini.
a) Tes Benar- Salah
Soal-soal dalam tes ini berbentuk pernyataan yang pilihan jawabannya hanya dua macam, yakni “B” jika pernyataan tersebut benar dan “S” jika salah. Apabila soal-soalnya disusun dalam bentuk pertanyaan, biasanya alternatif jawaban yang harus dipilih adalah “ ya” atau “ tidak”. Dalam dunia pendidikan modern, tes semacam itu sudah lama ditinggalkan karena dua alasan :
1) Tes “ B-S” tidak menghargai kreativitas akal siswa karena mereka hanya didorong untuk memilih sekenanya salah satu dari dua alternatif yang ada.
2) Tes “B-S” dalam beberapa segi tertentu dianggap sangat rendah tingkat reliabilitasnya.
Meskipun demikian, tes “ B-S “ ini juga memiliki manfaat yang tidak dapat diremehkan antara lain:
1) Tes “ B-S “ ini mendorong siswa /peserta didik untuk berpikir kritis dan berhati-hati dalam menjawab, karena biasanya poin nilai yang diberikan biasanya adalah satu yang berarti apabila salah memilih maka point nilainya akan hilang.
2) Tes “B-S “ ini memudahkan bagi pendidik /guru untuk memeriksa jawaban dengan cepat karena jawaban yang dirancang juga pasti.
3) Dalam merancang tes ini sebenarnya tidak mudah, seorang pendidik/guru harus benar-benar memikirkan soal-soal yang sesuai dengan validitas dan reliabilitasnya.
b) Tes Pilihan Berganda
Item-item (butir-butir soal) dalam tes pilihan berganda (multiple choice) biasanya berupa pertanyaan atau pernyataan yang dapat dijawab dengan memilih salah satu dari empat atau lima alternatif jawaban yang mengiringi setiap soal. Cara yang sangat lazim dilakukan adalah dengan memberikan tanda silang(X) pada salah satu huruf, a, b,c,d atau e yang menandai alternatif jawaban yang benar.
Pada zaman modern sekarang ini, dunia pendidikan khususnya di Barat sudah mulai meninggalkan tes pilihan berganda kecuali untuk keperluan-keperluan di luar pengukuran prestasi belajar. Alasan-alasan mereka meninggalkan jenis
tes ini ialah :
1) Kurang mendorong kreativitas ranah cipta dan karsa siswa, karena mereka diminta berspekulasi yakni menebak dan menyilang secara untung-untungan.
2) Sering terdapat dua jawaban (di antara empat atau lima alternatif) yang identik atau sangat mirip, sehingga terkesan kurang diskriminatif.
3) Sering terdapat satu jawaban yang sangat mencolok kebenarannya, sehingga jawaban-awaban lainnya terlalu gampang untuk ditinggalkan.
Namun demikian, sampai batas tertentu tes pilihan berganda masih dipakai untuk mengevaluasi prestasi belajar siswa dengan catatan , penyusunannya dilakukan secara ekstra cermat. Dalam hal ini, guru seharusnya berusaha sebaik-baiknya untuk menghindari kelemahan- kelemahan di atas.
c) Tes Pencocokan (Menjodohkan)
Tes pencocokan (matching test) disusun dalam dua daftar yang masing-masing memuatkata, istilah atau kalimat yang diletakkan bersebelahan. Tugas siswa dalam menjawab item-item soal ialah mencari pasangan yang selaras antara kalimat atau istilah yang ada pada daftar A(berisi item-item yang ditandai dengan nomor urut 1 sampai 10 dan seterusnya sesuai dengankebutuhan) dengan daftar B terdiri atas item-item yang ditandai huruf a,b,c dan seterusnya.
d) Tes Isian
Alat tes isian biasanya berbentuk cerita atau karangan pendek, yang pada bagian-bagian yang memuat istilah atau nama tertentu dikosongkan. Tugas siswa dalam hal ini berpikir untuk menemukan kata-kata yang relevan dengan karangan tersebut. Lalu kata-kata itu dituliskan pada titik-titik atau ruang kosong yang terdapat pada badan karangan tadi. Untuk memperjelas uraian mengenai tes isian itu, selanjutnya disajikan contoh paling sederhana di bawah ini.
e) Tes Pelengkapan (Melengkapi)
Cara menyelesaikan tes melengkapi pada dasarnya sama dengan menyelesaikan tes isian. Perbedaannya terletak pada kalimat-kalimat yang digunakan sebagai instrumen. Dalam tes melengkapi, kalimat-kalimat itu tidak disusun dalam bentuk karangan atau cerita pendek tetapi dalam bentuk yang msing-masing berdiri sendiri.
2. Bentuk Subjektif
Alat evaluasi yang berbentuk tes subyektif adalah alat pengukur prestasi belajar yang jawabannya tidak dinilai dengan skor atau angka pasti, seperti yang digunakan untuk evaluasi obyektif. Hal ini disebabkan banyaknya ragam gaya jawaban yang diberikan oleh para siswa. Instrumen evaluasi mengambil bentuk essay examination, yakni soal ujian mengharuskan siswa menjawab setiap pertanyaan dengan cara menguraikan atau dalam bentuk karangan bebas.
Banyak ahli menganggap evaluasi subyektif itu sukar sekali dipercaya reliabilitas dan validitasnya, karena subyektivitas guru penilainya lebih menonjol (Suryabrata, 1984 : 67). Contoh; sebuah esai jawaban yang hari ini diberi nilai 70, mungkin dua minggu yang akan datang, jika diperiksa lagi akan diberi nilai 60 atau 80.
Ada beberapa keunggulan tes esai yang secara implisit diakui juga oleh Suryabrata (1984 : 68), yakni bahwa :
a) Tes esai tidak hanya mampu mengungkapkan materi hasil jawaban siswa tetapi juga cara atau jalan yang ditempuh untuk memperoleh jawaban itu.
b) Tes esai dapat mendorong siswa untuk berpikir kreatif, kritis, bebas, mandiri, tetapi tanpa melupakan tanggung jawab.
Mengenai sikap subyektif guru penilai tidak perlu menjadi halangan penggunaan tes ini, sebabseperti objektivitas, subjektivitas juga ada batasnya. Persoalannya sekarang adalahbagaimana kita mencetak guru profesional dalamarti luas dan komprehensif termasuk dalam hal evaluasi prestasi belajar para siswanya.
5. Indikator Prestasi Belajar
Prestasi belajar pada dasarnya adalah hasil akhir yang diharapkan dapat dicapai setelah seseorang belajar. Menurut Ahmad Tafsir (2008: 34-35), hasil belajar atau bentuk perubahan tingkah laku yang diharapkan itu merupakan suatu target atau tujuan pembelajaran yang meliputi 3 (tiga) aspek yaitu: 1) tahu, mengetahui (knowing); 2) terampil melaksanakan atau mengerjakan yang ia ketahui itu (doing); dan 3) melaksanakan yang ia ketahui itu secara rutin dan konsekwen (being).
Adapun menurut Benjamin S. Bloom, sebagaimana yang dikutip oleh Abu Muhammad Ibnu Abdullah (2008), bahwa hasil belajar diklasifikasikan ke dalam tiga ranah yaitu: 1) ranah kognitif (cognitive domain); 2) ranah afektif (affective domain); dan 3) ranah psikomotor (psychomotor domain).
Bertolak dari kedua pendapat tersebut di atas, penulis lebih cenderung kepada pendapat Benjamin S. Bloom. Kecenderungan ini didasarkan pada alasan bahwa ketiga ranah yang diajukan lebih terukur, dalam artian bahwa untuk mengetahui prestasi belajar yang dimaksudkan mudah dan dapat dilaksanakan, khususnya pada pembelajaran yang bersifat formal. Sedangkan ketiga aspek tujuan pembelajaran yang diajukan oleh Ahmad Tafsir sangat sulit untuk diukur. Walaupun pada dasarnya bisa saja dilakukan pengukuran untuk ketiga aspek tersebut, namun ia membutuhkan waktu yang tidak sedikit, khususnya pada aspek being, di mana proses pengukuran aspek ini harus dilakukan melalui pengamatan yang berkelanjutan sehingga diperoleh informasi yang meyakinkan bahwa seseorang telah benar-benar melaksanakan apa yang ia ketahui dalam kesehariannya secara rutin dan konsekuen.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis berkesimpulan bahwa jenis prestasi belajar itu meliputi 3 (tiga) ranah atau aspek, yaitu: 1) ranah kognitif (cognitive domain); 2) ranah afektif (affective domain); dan 3) ranah psikomotor (psychomotor domain).
Untuk mengungkap hasil belajar atau prestasi belajar pada ketiga ranah tersebut di atas diperlukan patokan-patokan atau indikator-indikator sebagai penunjuk bahwa seseorang telah berhasil meraih prestasi pada tingkat tertentu dari ketiga ranah tersebut. Dalam hal ini Muhibbin Syah (2008: 150) mengemukakan bahwa:
“Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa sebagaimana yang terurai di atas adalah mengetahui garis-garis besar indikator (penunjuk adanya prestasi tertentu) dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan atau diukur”.
Pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengenai indikator-indikator prestasi belajar sangat diperlukan ketika seseorang akan menggunakan alat dan kiat evaluasi. Muhibbin Syah (2008: 150) mengemukakan bahwa urgensi pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengenai jenis-jenis prestasi belajar dan indikator-indikatornya adalah bahwa pemilihan dan pengunaan alat evaluasi akan menjadi lebih tepat, reliabel, dan valid.
Selanjutnya agar lebih mudah dalam memahami hubungan antara jenis-jenis belajar dengan indikator-indikatornya, berikut ini penulis sajikan sebuah tabel yang disarikan dari tabel jenis, indikator, dan cara evaluasi prestasi (Muhibbin Syah, 2008: 151).
a. Menentukan angka kemajuan atau hasil belajar pada siswa. Yang berfungsi sebagai:
· Laporan kepada orang tua / wali siswa.
· Penentuan kenaikan kelas
· Penentuan kelulusan siswa.
b. Penempatan siswa ke dalam situasi belajar mengajar yang tepat dan serasi dengan tingkat kemampuan, minat dan berbagai karakteristik yang dimiliki.
c. Mengenal latar belakang siswa (psikologis, fisik dan lingkungan) yang berguna baik bagi penempatan maupun penentuan sebab-sebab kesulitan belajar para siswa, yakni berfungsi sebagai masukan bagi tugas Bimbingan dan Penyuluhan (BP).
d. Sebagai umpan balik bagi guru, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan program remdial bagi siswa.
2. Fungsi Evaluasi
Disamping memiliki tujuan, evaluasi belajar juga memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:
a. Fungsi administratif untuk menyusun daftar nilai dan pengisian buku rapor.
b. Fungsi promosi untuk menetapkan kenaikan atau kelulusan,
c. A program remedial teching (pengerjaan perbaikan),
d. Sumber data BK untuk memasok data siswa tertentu yang memerlukan bimbingan dan konseling (BK),
e. Bahan pertimbangan pengembangan masa yang akan datang yang meliputi pengembangan kurikulum, metode dan alat-alat PMB.
Evaluasi juga mempunyai fungsi Kurikuler (alat pengukur ketercapaian tujuan mata pelajaran), instruksional (alat ukur ketercapaian tujuan proses belajar mengajar), dan placement (penempatan siswa sesuai dengan bakat dan minatnya, serta kemampuannya).
Selanjutnya, selain memiliki fungsi-fungsi seperti diatas, evaluasi juga mengandung fungsi psikologis yang cukup signifikan bagi siswa, guru, maupun orangtua siswa. Bagi siswa, penilaian guru merupakan alat bantu untuk mengatasi kekurangmampuan atau ketidakmampuannya dalam menilai kemampuan dan kemajuan dirinya sendiri. Dengan menegtahui taraf dan kemampuan dirinya sendiri, siswa memiliki self-conciousness, kesadaran yang lugas mengenai eksistensi dirinya sendiri, dan juga metacognitive, pengetahuan yang benar mengenai batas kemampuan akal sendiri (Mulcahy et al, 1991). Dengan demikian, siswa diharapkan mampu menentukan status dan posisinya secara tepat diantara teman-teman dan masyarakatnya sendiri.
Bagi orang tua atau wali siswa, evaluasi itu dibutuhkan akan pengetahuan mengenai hasil usaha dan tanggungjawabnya mengembangkan potensi anak akan terpenuhi. Pengetahuan seperti ini dapat mendatangkan rasa pasti kepada orangtua dan wali siswa dalam menentukan langkah-langkah bagi lanjutan pendidikan anaknya.
Sedangkan bagi para guru sendiri (sebagai evaluator) hasil evaluasi prestasi tersebut dapat membantu mereka dalam menentukan warna sikap “efikasi-diri” dan “efikasi-kontekstual”.
Disamping itu, evaluasi prestasi belajar sudah tentu juga berfungsi melaksanakan ketentuan konstitusional sebagaimana terdapat dalam
UU Sisdiknas No. 20/2003 Bab XVI pasal 57 (1) yang berbunyi: “evaluasi pendidikan dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan”.
3. Ragam Evaluasi
Pada prinsipnya, evaluasi hasil belajar merupakan kegiatan berencana dan berkesinambungan. Oleh karena itu, ragamnya pun banyak, mulai yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.
A. Pre test dan post test
Kegiatan pre test dilakukan guru secara rutin pada setiap akan memulai penyajian materi baru. Tujuannya ialah untuk mengidentifikasi taraf pengetahuan siswa mengenai bahan yang akan disajikan.
Post test adalah kebalikan dari pre test, yakni kegiatan evaluasi yang dilakukan guru pada setiap akhir penyajian materi. Tujuannya adalah untuk mengetahui taraf penguasaan siswa atas materi yang telah diajarkan.
B. Evaluasi Prasyarat
Evaluasi jenis ini sangat mirip dengan pre test. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi penguasaan siswa atas materi lama yang mendasari materi baru yang diajarkan.
C. Evaluasi Diagnostik
Evaluasi ini dilakukan setelah selesai penyajian sebuah satuan pelajaran dengan tujuan mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa. Instrumen evaluasi jenis ini dititikberatkan pada bahasan tertentu yang dipandang telah membuat siswa mendapatkan kesulitan.
D. Evaluasi Formatif
Evaluasi jenis ini kurang lebih sama dengan ulangan yang dilakukan pada setiap akhir penyajian satuan penyajian satuan pelajaran atau modul. Tujuannya yaitu untuk mengetahui kesulitan belajar siswa.
E. Evaluasi Sumatif
Ragam penilaian sumatif dilakukan untuk mengukur kinerja akademik atau prestasi belajar siswa pada akhir periode pelaksanaan program pengajaran. Hasilnya dijadikan bahan laporan resmi mengenai kinerja akdemik siswa dan bahan penentu naik atau tidaknya siswa ke kelas yang lebih tinggi.
F. UAN
Ujian Akhir Sekolah pada prinsipnya sama dengan evaluasi sumatif dalam arti sebagai alat penentu kenaikan status siswa. Namun, UAN dirancang untuk siswa yang telah menduduki kelas tertinggi pada suatu jenjang pendidikan tertentu.
4. Syarat dan Ragam Alat Evaluasi
A. Syarat Evaluasi
Persyaratan pokok penyusunan alat evaluasi yang baik dalam persfektif psikologi belajar (The psychology of learning) melihat dua macam, yakni : 1) reliabilitas; 2) validitas (Butler, 1990 :98). Persyaratan lainnya adalah objektif,diskriminatif dan sebagainya yang dikemukakanoleh kebanyakan penyusun buku psikologipendidikan dan buku ilmu-lmu kependidikan pada umumnya.
Reliabilitas secara sederhana berartitahan uji atau dapat dipercaya. Sebuah alat evaluasi dipandang reliabel atau tahan uji, apabilamemiliki konsistensi (ketetapan) dankeajeganhasil. Artinya apabila alat itu diujikan kepadakelompok siswa pada waktu tertentu menghasilkanprestasi “ X “, maka prestasi yang sama atau hampir sama dengan “ X “ itu dapat pula dicapai kelompok siswa tersebut setelah diuji ulang dengan alat yang sama pada waktu yang lain.
Validitas pada prinsipnya berarti keabsahan atau kebenaran. Sebuah alat evaluasi dipandang valid (absah) apabila dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Contohnya, apabila sebuah alat evaluasi bertujuan mengukur prestasi belajar matematika, maka item-item dalam alat itu hendaknya hanya direkayasa untuk mengukur kemampuan matematis para siswa. Kemampuan-kemampuan lainnya yang tidak relevan, seperti kemampuan dalam bidang bahasa, IPS dan sebagainya tidak perlu diukur oleh instrumen
evaluasi matematika tersebut.
B. Ragam Alat Evaluasi
Muhibbinsyah (2003 : 201) menggolongkan teknik evaluasi ke dalam pembagian ragam alat evaluasi. Menurutnya secara garis besar ragam alat evaluasi terdiri atas dua macam bentuk, yaitu : 1). Bentuk objektif; 2). Bentuk subjektif. Bentuk objektif biasanya diwujudkan dalam bentuk-bentuk alternatif jawaban, pengisian titik-titik dan pencocokan satu pernyataan dengan pernyataan lainnya.
1. Bentuk Objektif .
Bentuk ini lazim disebut tes objektif, yakni tes yang jawabannya dapat diberi skor nilai secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang ditentukan sebelumnya. Ada lima macam yang termasuk dalam evaluasi ragam objektif ini.
a) Tes Benar- Salah
Soal-soal dalam tes ini berbentuk pernyataan yang pilihan jawabannya hanya dua macam, yakni “B” jika pernyataan tersebut benar dan “S” jika salah. Apabila soal-soalnya disusun dalam bentuk pertanyaan, biasanya alternatif jawaban yang harus dipilih adalah “ ya” atau “ tidak”. Dalam dunia pendidikan modern, tes semacam itu sudah lama ditinggalkan karena dua alasan :
1) Tes “ B-S” tidak menghargai kreativitas akal siswa karena mereka hanya didorong untuk memilih sekenanya salah satu dari dua alternatif yang ada.
2) Tes “B-S” dalam beberapa segi tertentu dianggap sangat rendah tingkat reliabilitasnya.
Meskipun demikian, tes “ B-S “ ini juga memiliki manfaat yang tidak dapat diremehkan antara lain:
1) Tes “ B-S “ ini mendorong siswa /peserta didik untuk berpikir kritis dan berhati-hati dalam menjawab, karena biasanya poin nilai yang diberikan biasanya adalah satu yang berarti apabila salah memilih maka point nilainya akan hilang.
2) Tes “B-S “ ini memudahkan bagi pendidik /guru untuk memeriksa jawaban dengan cepat karena jawaban yang dirancang juga pasti.
3) Dalam merancang tes ini sebenarnya tidak mudah, seorang pendidik/guru harus benar-benar memikirkan soal-soal yang sesuai dengan validitas dan reliabilitasnya.
b) Tes Pilihan Berganda
Item-item (butir-butir soal) dalam tes pilihan berganda (multiple choice) biasanya berupa pertanyaan atau pernyataan yang dapat dijawab dengan memilih salah satu dari empat atau lima alternatif jawaban yang mengiringi setiap soal. Cara yang sangat lazim dilakukan adalah dengan memberikan tanda silang(X) pada salah satu huruf, a, b,c,d atau e yang menandai alternatif jawaban yang benar.
Pada zaman modern sekarang ini, dunia pendidikan khususnya di Barat sudah mulai meninggalkan tes pilihan berganda kecuali untuk keperluan-keperluan di luar pengukuran prestasi belajar. Alasan-alasan mereka meninggalkan jenis
tes ini ialah :
1) Kurang mendorong kreativitas ranah cipta dan karsa siswa, karena mereka diminta berspekulasi yakni menebak dan menyilang secara untung-untungan.
2) Sering terdapat dua jawaban (di antara empat atau lima alternatif) yang identik atau sangat mirip, sehingga terkesan kurang diskriminatif.
3) Sering terdapat satu jawaban yang sangat mencolok kebenarannya, sehingga jawaban-awaban lainnya terlalu gampang untuk ditinggalkan.
Namun demikian, sampai batas tertentu tes pilihan berganda masih dipakai untuk mengevaluasi prestasi belajar siswa dengan catatan , penyusunannya dilakukan secara ekstra cermat. Dalam hal ini, guru seharusnya berusaha sebaik-baiknya untuk menghindari kelemahan- kelemahan di atas.
c) Tes Pencocokan (Menjodohkan)
Tes pencocokan (matching test) disusun dalam dua daftar yang masing-masing memuatkata, istilah atau kalimat yang diletakkan bersebelahan. Tugas siswa dalam menjawab item-item soal ialah mencari pasangan yang selaras antara kalimat atau istilah yang ada pada daftar A(berisi item-item yang ditandai dengan nomor urut 1 sampai 10 dan seterusnya sesuai dengankebutuhan) dengan daftar B terdiri atas item-item yang ditandai huruf a,b,c dan seterusnya.
d) Tes Isian
Alat tes isian biasanya berbentuk cerita atau karangan pendek, yang pada bagian-bagian yang memuat istilah atau nama tertentu dikosongkan. Tugas siswa dalam hal ini berpikir untuk menemukan kata-kata yang relevan dengan karangan tersebut. Lalu kata-kata itu dituliskan pada titik-titik atau ruang kosong yang terdapat pada badan karangan tadi. Untuk memperjelas uraian mengenai tes isian itu, selanjutnya disajikan contoh paling sederhana di bawah ini.
e) Tes Pelengkapan (Melengkapi)
Cara menyelesaikan tes melengkapi pada dasarnya sama dengan menyelesaikan tes isian. Perbedaannya terletak pada kalimat-kalimat yang digunakan sebagai instrumen. Dalam tes melengkapi, kalimat-kalimat itu tidak disusun dalam bentuk karangan atau cerita pendek tetapi dalam bentuk yang msing-masing berdiri sendiri.
2. Bentuk Subjektif
Alat evaluasi yang berbentuk tes subyektif adalah alat pengukur prestasi belajar yang jawabannya tidak dinilai dengan skor atau angka pasti, seperti yang digunakan untuk evaluasi obyektif. Hal ini disebabkan banyaknya ragam gaya jawaban yang diberikan oleh para siswa. Instrumen evaluasi mengambil bentuk essay examination, yakni soal ujian mengharuskan siswa menjawab setiap pertanyaan dengan cara menguraikan atau dalam bentuk karangan bebas.
Banyak ahli menganggap evaluasi subyektif itu sukar sekali dipercaya reliabilitas dan validitasnya, karena subyektivitas guru penilainya lebih menonjol (Suryabrata, 1984 : 67). Contoh; sebuah esai jawaban yang hari ini diberi nilai 70, mungkin dua minggu yang akan datang, jika diperiksa lagi akan diberi nilai 60 atau 80.
Ada beberapa keunggulan tes esai yang secara implisit diakui juga oleh Suryabrata (1984 : 68), yakni bahwa :
a) Tes esai tidak hanya mampu mengungkapkan materi hasil jawaban siswa tetapi juga cara atau jalan yang ditempuh untuk memperoleh jawaban itu.
b) Tes esai dapat mendorong siswa untuk berpikir kreatif, kritis, bebas, mandiri, tetapi tanpa melupakan tanggung jawab.
Mengenai sikap subyektif guru penilai tidak perlu menjadi halangan penggunaan tes ini, sebabseperti objektivitas, subjektivitas juga ada batasnya. Persoalannya sekarang adalahbagaimana kita mencetak guru profesional dalamarti luas dan komprehensif termasuk dalam hal evaluasi prestasi belajar para siswanya.
5. Indikator Prestasi Belajar
Prestasi belajar pada dasarnya adalah hasil akhir yang diharapkan dapat dicapai setelah seseorang belajar. Menurut Ahmad Tafsir (2008: 34-35), hasil belajar atau bentuk perubahan tingkah laku yang diharapkan itu merupakan suatu target atau tujuan pembelajaran yang meliputi 3 (tiga) aspek yaitu: 1) tahu, mengetahui (knowing); 2) terampil melaksanakan atau mengerjakan yang ia ketahui itu (doing); dan 3) melaksanakan yang ia ketahui itu secara rutin dan konsekwen (being).
Adapun menurut Benjamin S. Bloom, sebagaimana yang dikutip oleh Abu Muhammad Ibnu Abdullah (2008), bahwa hasil belajar diklasifikasikan ke dalam tiga ranah yaitu: 1) ranah kognitif (cognitive domain); 2) ranah afektif (affective domain); dan 3) ranah psikomotor (psychomotor domain).
Bertolak dari kedua pendapat tersebut di atas, penulis lebih cenderung kepada pendapat Benjamin S. Bloom. Kecenderungan ini didasarkan pada alasan bahwa ketiga ranah yang diajukan lebih terukur, dalam artian bahwa untuk mengetahui prestasi belajar yang dimaksudkan mudah dan dapat dilaksanakan, khususnya pada pembelajaran yang bersifat formal. Sedangkan ketiga aspek tujuan pembelajaran yang diajukan oleh Ahmad Tafsir sangat sulit untuk diukur. Walaupun pada dasarnya bisa saja dilakukan pengukuran untuk ketiga aspek tersebut, namun ia membutuhkan waktu yang tidak sedikit, khususnya pada aspek being, di mana proses pengukuran aspek ini harus dilakukan melalui pengamatan yang berkelanjutan sehingga diperoleh informasi yang meyakinkan bahwa seseorang telah benar-benar melaksanakan apa yang ia ketahui dalam kesehariannya secara rutin dan konsekuen.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis berkesimpulan bahwa jenis prestasi belajar itu meliputi 3 (tiga) ranah atau aspek, yaitu: 1) ranah kognitif (cognitive domain); 2) ranah afektif (affective domain); dan 3) ranah psikomotor (psychomotor domain).
Untuk mengungkap hasil belajar atau prestasi belajar pada ketiga ranah tersebut di atas diperlukan patokan-patokan atau indikator-indikator sebagai penunjuk bahwa seseorang telah berhasil meraih prestasi pada tingkat tertentu dari ketiga ranah tersebut. Dalam hal ini Muhibbin Syah (2008: 150) mengemukakan bahwa:
“Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa sebagaimana yang terurai di atas adalah mengetahui garis-garis besar indikator (penunjuk adanya prestasi tertentu) dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan atau diukur”.
Pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengenai indikator-indikator prestasi belajar sangat diperlukan ketika seseorang akan menggunakan alat dan kiat evaluasi. Muhibbin Syah (2008: 150) mengemukakan bahwa urgensi pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengenai jenis-jenis prestasi belajar dan indikator-indikatornya adalah bahwa pemilihan dan pengunaan alat evaluasi akan menjadi lebih tepat, reliabel, dan valid.
Selanjutnya agar lebih mudah dalam memahami hubungan antara jenis-jenis belajar dengan indikator-indikatornya, berikut ini penulis sajikan sebuah tabel yang disarikan dari tabel jenis, indikator, dan cara evaluasi prestasi (Muhibbin Syah, 2008: 151).
Jenis dan
Indikator Prestasi Belajar
No
|
Jenis Prestasi Belajar
|
Indikator Prestasi Belajar
|
Cara
Evaluasi
|
1
|
Ranah
Cipta (Kognitif)
a.
Pengamatan
|
a. Dapat menunjukkan
b. Dapat membandingkan
c. Dapat menghubungkan
|
a. Tes Lisan
b. Tes Tertulis
c. Observasi
|
b.
Ingatan
|
a. Dapat menyebutkan
b. Dapat menunjukkan kembali
|
a. Tes Lisan
b. Tes Tertulis
c. Observasi
|
|
c.
Pemahaman
|
a. Dapat menjelaskan
b. Dapat mendefinisikan dengan lisan
sendiri
|
a. Tes Lisan
b. Tes Tulis
|
|
d.
Penerapan
|
a. Dapat memberikan contoh
b. Dapat menggunakan secara tepat
|
a. Tes Tertulis
b. Pemberian Tugas
c. Observasi
|
|
e.
Analisis (pemeriksaan dan pemilahan secara teliti)
|
a. Dapat menguraikan
b. Dapat
mengklasifikasikan/memilah-milah
|
a. Tes Tertulis
b. Pemberian Tugas
|
|
f.
Sintesis (membuat panduan baru dan utuh)
|
a. Dapat menghubungkan
b. Dapat menyimpulkan
c. Dapat menggeneralisasikan (membuat
prinsip umum)
|
a. Tes Tertulis
b. Pemberian Tugas
|
|
2
|
Ranah
Rasa (Afektif)
a.
Penerimaan
|
a. Menunjukan sikap menerima
b. Menunjukan sikap menolak
|
a. Tes Tertulis
b. Tes Skala Sikap
c. Observasi
|
b.Sambutan
|
a. Kesediaan berpartisipasi
b. Kesediaan memanfaatkan
|
a. Tes skala sikap
b. Pemberian tugas
c. Observasi
|
|
c.
Apresiasi (sikap menghargai)
|
a. Menganggap penting dan
bermanfaat
b. Menganggap indah dan harmonis
c. Mengagumi
|
a. Tes skala sikap
b. Pemberian tugas
c. Observasi
|
|
d.Internalisasi
(pendalaman)
|
a. Mengakui dan meyakini
b. Mengingkari
|
a. Tes skala sikap
b. Pemberian tugas yang ekspresif
c. Observasi
|
|
e.
Karaktirasasi
|
a. Melembagakan atau meniadakan
b. Menjelema dalam pribadi dan
perilaku sehari-hari
|
a.
Pemberian tugas ekspresif dan proyektif
b.
Observasi
|
|
3
|
Ranah
Karsa (Psikomotor))
a. Keterampilan bergerak dan
bertindak
|
a.
Mengkoordinasikan gerak mata, tangan,
kaki, dan anggota tubuh lainnya
|
a. Observasi
b. Tes tindakan
|
b.
Kecakapan kespresi verbal dan nonverbal
|
a. Mengucapkan
b. Membuat mimik dan gerakan jasmani
|
a. Tes lisan
b.
Observasi
c. Tes
tindakan
|
6. Batas Minimal Prestasi Belajar
Setelah mengetahui indikator dan memperoleh skor hasil evaluasi prestasi belajar, seorang guru perlu mengetahui bagaimana kiat menetapkan batas minimal keberhasilan belajar para siswanya. Hal ini penting karena mempertimbangkan batas terendah prestasi siswa yang dianggap berhasil dalam arti luas bukanlah perkara yang mudah. Keberhasilan dalam arti luas berarti keberhasilan yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor.
Ranah-ranah psikologis, walaupun berkaitan satu sama lain, kenyataannya sukar diungkap sekaligus jika hanya melihat perubahan yang terjadi pada salah satu ranah. Contoh: seorang siswa yang memiliki nilai tinggi dalam bidang studi agama Islam misalnya, belum tentu rajin beribadah sholat. Sebaliknya, siswa lain yang mendapat nilai cukup dalam bidang studi tersebut, justru menunjukkan perilaku yang baik dalam kehidupan beragama sehari- hari.
Jadi, nilai hasil evaluasi sumatif atau ulangan “X” dalam raport, misalnya, mungkin secara efektif dan psikomotor menjadi “X-“ atau “ X+”. Inilah tantangan berat yang harus dihadapi oleh para guru sepanjang masa. Untuk menjawab tantangan ini guru seharusnya tidak hanya terikat oleh kiat penilaian yang bersifat kognitif, tetapi juga memperhatikan kiat penilaian yang bersifat afektif dan psikomotor siswa.
Menetapkan batas minimum keberhasilan belajar siswa selalu berkaitan dengan upaya pengungkapan hasil belajar. Ada beberapa alternative norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses belajar. Diantara norma-norma pengukuran tersebut adalah :
1.Norma skala angka dari 0 sampai 10
2.Norma skala angka dari 0 sampai 100
Angka terendah yang menyatakan kelulusan atau keberhasilan belajar (passing grade) skala 0-10 adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala 0-100 adalah 55 atau 60. Pada prinsipnya jika seorang siswa dapat menyelesaikan lebih dari separuh tugas atau dapat menjawab lebih dari instrumen evaluasi dengan benar, ia dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar. Namun demikian, kiranya perlu dilakukan pertimbangkan oleh para guru sekolah penetapan passing grade yang lebih tinggi (misalya 65 atau 70) untuk pelajaran-pelajaran inti (core subject). Pelajaran-pelajaran inti ini meliputi, antara lain : bahasa dan matematika, karena kedua bidang studi ini (tanpa bermaksud mengurangi pentingnya bidang studi lain) merupakan “kunci pintu ” pengetahuan-pengetahuan lainnya. Pengkhususan passing grade seperti ini sudah berlaku umum di banyak negara maju dan telah mendorong peningkatan kemajuan belajar siswa dalam bidang- bidang studi lainnya.
Selanjutnya, selain norma-norma tersebut di atas ada pula norma lain yang berlaku di perguruan tinggi yaitu norma prestasi belajar dengan menggunakan simbol huruf-huruf A, B, C,D dan E. Hal lain yang lebih penting dalam proses evaluasi prestasi bukan norma mana yang harus diambil, melainkan sejauh mana norma itu dipakai secara lugas untuk mengevaluasi seluruh kecakapan siswa yaitu kognitif, afektif dan psikomotor).
7. Evaluasi Prestasi Kognitif, Afektif dan Psikomotor
Evaluasi psikoedukasi, baik pada anak, remaja ataupun dewasa pada dasarnya akan menyentuh tiga ranah psikologis. Yaitu ranah cipta (kognitif), ranah rasa (afektif) dan ranah karsa (psikomotor).
A. Evaluasi Prestasi Kognitif
Mengukur keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif (ranah cipta) dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan tes tertulis maupun tes lisan dan perbuatan. Karena semakin membengkaknya jumlah siswa-siswa di sekolah, tes lisan dan perbuatan saat ini semakin jarang digunakan. Alasan lain mengapa tes lisan khususnya kurang mendapat perhatian ialah karena pelaksanaannya yang face to face (berhadapan langsung). Cara ini, konon dapat mendorong penguji untuk bersikap kurang fair terhadap si teruji/peserta didik tertentu.
Dampak negatif yang terkadang muncul dalam tes yang face to face itu, ialah sikap dan perlakuan penguji yang subjektif dan kurang adil, sehingga soal yang diajukan pun tingkat kesukarannya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Di satu pihak ada siswa yang diberi soal yang mudah dan terarah (sesuai dengan topik) sedangkan di pihak lain ada pula siswa yang ditanyai masalah yang sukar bahkan terkadang tidak relevandengan topik.
Untuk mengatasi masalah subjektivitas itu, semua jenis tes tertulis baik yang berbentuk subjektif maupun yang berbentuk objektif (kecuali tes B-S), seyogjanya dipakai sebaik-baiknya oleh para guru. Namun demikian, apabila anda menghendaki informasi yang lebih akurat mengenai kemampuan kognitif siswa, selain tes B-S, tes pilihan berganda juga sebaiknya tidak digunakan. Sebagai gantinya, anda sangat dianjurkan untuk menggunakan tes pencocokan (matching test), tes isian, dan tes esai.
Khusus untuk mengukur kemampuan analisis dan sistesis siswa, anda lebih dianjurkan untuk menggunakan tes esai, karena tes ini adalah ragam instrument evaluasi yang dipandang paling tepat untuk mengevaluasi dua jenis kemampuan akal siswa tadi.
B. Evaluasi Prestasi Afektif
Dalam merencanakan penyusunan instrument tes prestasi siswa yang berdimensi afektif (ranah rasa) jenis-jenis prestasi internalisasi dan karakterisasi sebaiknya mendapatperhatian khusus. Karena kedua jenis prestasi ranah rasa itulah yang lebih banyak mengendalikan sikap dan perbuatan siswa.
Salah satu bentuk tes ranah rasa yang populer ialah likert scale yang tujuannya untuk mengidentifikasi kecenderungan atau sikap orang. Bentuk skala ini menampung pendapat yang mencerminkan sikap sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Rentang skala ini diberi skor 1 sampai 5 atau 1 sampai 7 bergantung kebutuhan dengan catatan skor-skor itu dapat mencerminkan sikap-sikap mulai sangat “ya” sampai sangat “tidak”. Perlu pula dicatat, untuk memudahkan identifikasi jenis kecenderungan afektif siswa yang representatif item-item skala sikap sebaiknya dilengkapi dengan label/identitas sikap yang meliputi :
1. Doktrin, yaitu pendirian
2. Komitmen, ikrar untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan
3. Penghayatan, pengalaman batin
4. Wawasan, pandangan atau cara memandang sesuatu
Hal lain yang perlu diingat guru yang hendak menggunakan skala sikap ialah bahwa dalam evaluasi ranah rasa yang dicari bukanlah benar dan salah, melainkan sikap atau kecenderungan, setuju atau tidak setuju. Jadi, tidak sama dengan evaluasi ranah cipta yang secara principal bertujuan mengungkapkan kemampuan akal dengan batasan salah dan benar.
C. Evaluasi Prestasi Psikomotor
Cara yang dipandang tepat untuk mengevaluasi keberhasilan belajar yang berdimensi ranah psikomotor (ranah karsa) adalah observasi. Dalam hal ini observasi dapat diartikan sebagai sejenis tes mengenai peristiwa, tingkah laku, atau fenomena lain dengan pengamatan langsung. Namun, observasi harus dibedakan dengan eksperimen, karena eksperimen pada umumnya dipandang sebagai salah satu cara observasi. Guru yang hendak melakukan observasi perilaku psikomotor siswanya hendaklah mempersiapkan langkah-langkah yang cermat dan sistematis menurut pedoman yang terdapat dalam lembar format observasi yang sebelumnya telah disediakan baik oleh sekolah maupun oleh guru itu sendiri.
Setelah mengetahui indikator dan memperoleh skor hasil evaluasi prestasi belajar, seorang guru perlu mengetahui bagaimana kiat menetapkan batas minimal keberhasilan belajar para siswanya. Hal ini penting karena mempertimbangkan batas terendah prestasi siswa yang dianggap berhasil dalam arti luas bukanlah perkara yang mudah. Keberhasilan dalam arti luas berarti keberhasilan yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor.
Ranah-ranah psikologis, walaupun berkaitan satu sama lain, kenyataannya sukar diungkap sekaligus jika hanya melihat perubahan yang terjadi pada salah satu ranah. Contoh: seorang siswa yang memiliki nilai tinggi dalam bidang studi agama Islam misalnya, belum tentu rajin beribadah sholat. Sebaliknya, siswa lain yang mendapat nilai cukup dalam bidang studi tersebut, justru menunjukkan perilaku yang baik dalam kehidupan beragama sehari- hari.
Jadi, nilai hasil evaluasi sumatif atau ulangan “X” dalam raport, misalnya, mungkin secara efektif dan psikomotor menjadi “X-“ atau “ X+”. Inilah tantangan berat yang harus dihadapi oleh para guru sepanjang masa. Untuk menjawab tantangan ini guru seharusnya tidak hanya terikat oleh kiat penilaian yang bersifat kognitif, tetapi juga memperhatikan kiat penilaian yang bersifat afektif dan psikomotor siswa.
Menetapkan batas minimum keberhasilan belajar siswa selalu berkaitan dengan upaya pengungkapan hasil belajar. Ada beberapa alternative norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses belajar. Diantara norma-norma pengukuran tersebut adalah :
1.Norma skala angka dari 0 sampai 10
2.Norma skala angka dari 0 sampai 100
Angka terendah yang menyatakan kelulusan atau keberhasilan belajar (passing grade) skala 0-10 adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala 0-100 adalah 55 atau 60. Pada prinsipnya jika seorang siswa dapat menyelesaikan lebih dari separuh tugas atau dapat menjawab lebih dari instrumen evaluasi dengan benar, ia dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar. Namun demikian, kiranya perlu dilakukan pertimbangkan oleh para guru sekolah penetapan passing grade yang lebih tinggi (misalya 65 atau 70) untuk pelajaran-pelajaran inti (core subject). Pelajaran-pelajaran inti ini meliputi, antara lain : bahasa dan matematika, karena kedua bidang studi ini (tanpa bermaksud mengurangi pentingnya bidang studi lain) merupakan “kunci pintu ” pengetahuan-pengetahuan lainnya. Pengkhususan passing grade seperti ini sudah berlaku umum di banyak negara maju dan telah mendorong peningkatan kemajuan belajar siswa dalam bidang- bidang studi lainnya.
Selanjutnya, selain norma-norma tersebut di atas ada pula norma lain yang berlaku di perguruan tinggi yaitu norma prestasi belajar dengan menggunakan simbol huruf-huruf A, B, C,D dan E. Hal lain yang lebih penting dalam proses evaluasi prestasi bukan norma mana yang harus diambil, melainkan sejauh mana norma itu dipakai secara lugas untuk mengevaluasi seluruh kecakapan siswa yaitu kognitif, afektif dan psikomotor).
7. Evaluasi Prestasi Kognitif, Afektif dan Psikomotor
Evaluasi psikoedukasi, baik pada anak, remaja ataupun dewasa pada dasarnya akan menyentuh tiga ranah psikologis. Yaitu ranah cipta (kognitif), ranah rasa (afektif) dan ranah karsa (psikomotor).
A. Evaluasi Prestasi Kognitif
Mengukur keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif (ranah cipta) dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan tes tertulis maupun tes lisan dan perbuatan. Karena semakin membengkaknya jumlah siswa-siswa di sekolah, tes lisan dan perbuatan saat ini semakin jarang digunakan. Alasan lain mengapa tes lisan khususnya kurang mendapat perhatian ialah karena pelaksanaannya yang face to face (berhadapan langsung). Cara ini, konon dapat mendorong penguji untuk bersikap kurang fair terhadap si teruji/peserta didik tertentu.
Dampak negatif yang terkadang muncul dalam tes yang face to face itu, ialah sikap dan perlakuan penguji yang subjektif dan kurang adil, sehingga soal yang diajukan pun tingkat kesukarannya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Di satu pihak ada siswa yang diberi soal yang mudah dan terarah (sesuai dengan topik) sedangkan di pihak lain ada pula siswa yang ditanyai masalah yang sukar bahkan terkadang tidak relevandengan topik.
Untuk mengatasi masalah subjektivitas itu, semua jenis tes tertulis baik yang berbentuk subjektif maupun yang berbentuk objektif (kecuali tes B-S), seyogjanya dipakai sebaik-baiknya oleh para guru. Namun demikian, apabila anda menghendaki informasi yang lebih akurat mengenai kemampuan kognitif siswa, selain tes B-S, tes pilihan berganda juga sebaiknya tidak digunakan. Sebagai gantinya, anda sangat dianjurkan untuk menggunakan tes pencocokan (matching test), tes isian, dan tes esai.
Khusus untuk mengukur kemampuan analisis dan sistesis siswa, anda lebih dianjurkan untuk menggunakan tes esai, karena tes ini adalah ragam instrument evaluasi yang dipandang paling tepat untuk mengevaluasi dua jenis kemampuan akal siswa tadi.
B. Evaluasi Prestasi Afektif
Dalam merencanakan penyusunan instrument tes prestasi siswa yang berdimensi afektif (ranah rasa) jenis-jenis prestasi internalisasi dan karakterisasi sebaiknya mendapatperhatian khusus. Karena kedua jenis prestasi ranah rasa itulah yang lebih banyak mengendalikan sikap dan perbuatan siswa.
Salah satu bentuk tes ranah rasa yang populer ialah likert scale yang tujuannya untuk mengidentifikasi kecenderungan atau sikap orang. Bentuk skala ini menampung pendapat yang mencerminkan sikap sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Rentang skala ini diberi skor 1 sampai 5 atau 1 sampai 7 bergantung kebutuhan dengan catatan skor-skor itu dapat mencerminkan sikap-sikap mulai sangat “ya” sampai sangat “tidak”. Perlu pula dicatat, untuk memudahkan identifikasi jenis kecenderungan afektif siswa yang representatif item-item skala sikap sebaiknya dilengkapi dengan label/identitas sikap yang meliputi :
1. Doktrin, yaitu pendirian
2. Komitmen, ikrar untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan
3. Penghayatan, pengalaman batin
4. Wawasan, pandangan atau cara memandang sesuatu
Hal lain yang perlu diingat guru yang hendak menggunakan skala sikap ialah bahwa dalam evaluasi ranah rasa yang dicari bukanlah benar dan salah, melainkan sikap atau kecenderungan, setuju atau tidak setuju. Jadi, tidak sama dengan evaluasi ranah cipta yang secara principal bertujuan mengungkapkan kemampuan akal dengan batasan salah dan benar.
C. Evaluasi Prestasi Psikomotor
Cara yang dipandang tepat untuk mengevaluasi keberhasilan belajar yang berdimensi ranah psikomotor (ranah karsa) adalah observasi. Dalam hal ini observasi dapat diartikan sebagai sejenis tes mengenai peristiwa, tingkah laku, atau fenomena lain dengan pengamatan langsung. Namun, observasi harus dibedakan dengan eksperimen, karena eksperimen pada umumnya dipandang sebagai salah satu cara observasi. Guru yang hendak melakukan observasi perilaku psikomotor siswanya hendaklah mempersiapkan langkah-langkah yang cermat dan sistematis menurut pedoman yang terdapat dalam lembar format observasi yang sebelumnya telah disediakan baik oleh sekolah maupun oleh guru itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar