Para Kontruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah inderanya. Dengan demikian manusia mengetahui sesuatu berdasarkan interaksi dengan obyek dan lingkungan melalui penglihatan, pendengaran, penjamahan, penciuman, dan merasakannya. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Maka pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak guru kepada otak murid. Oleh karena itu perlu disadari bahwa murid sendiri yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka selama ini. Semua pengetahuan yang kita peroleh merupakan konstruksi kita sendiri. Pengetahuan tidak seperti barang yang dapat ditransfer (dialihkan) begitu saja dari pikiran yang mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang belum mempunyai pengetahuan.
Apabila seorang guru bermaksud
mentransfer (memindahkan) konsep, ide, dan pengertiannya kepada seorang murid,
pemindahan itu harus ditafsirkan dan dikonstruksikan oleh seorang murid lewat
pengalamannya selama ini maka tidak heran selama ini banyaknya murid yang salah
menangkap apa yang diajarkan guru mereka sehingga menunjukkan bahwa pengetahuan
itu tidak dapat dipindahkan begitu saja, melainkan harus dikonstruksikan atau
minimal ditafsirkan sendiri oleh murid.
Secara efektif agar seseorang dapat
melakukan proses konstruksi diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut:
1.
kemampuan mengingat dan
mengungkapkan kembali pengalaman.
2.
kemampuan membandingkan, mengambil
keputusan (justifikasi) mengenai persamaan dan perbedaan, dan
3.
kemampuan untuk lebih menyukai
pengalaman yang satu dengan yang lainnya.
Kemampuan mengingat dan
mengungkapkan kembali pengetahuan sangat penting kerena pengetahuan dibentuk
berdasarkan interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan
membandingkan sangat penting agar dapat menarik sifat yang lebih umum dari
pengalaman-pengalaman khusus dan dapat melihat kesamaan serta perbedaannya
untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Menurut Jean Piaget,
1970 membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan, yaitu;
(1)
aspek figuratif, dan (2) aspek operatif.
Aspek berfikir figuratif adalah imajinasi keadaan sesaat dan statis yang
meliputi suatu persepsi, imajinasi, dan gambaran mental seseorang terhadap
obyek atau fenomena. Aspek berfikir operatif lebih berkaitan dengan
transformasi dari suatu tingkatan ke tingkatan lain. Setiap tingkat keadaan
dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik
tolak bagi transformasi lain. Dengan demikian aspek yang lebih penting dari
berfikir adalah aspek operatif sebab memungkinkan seseorang untuk mengembangkan
pengetahuannya dari satu tingkatan tertentu ke tingkatan yang lebih tinggi.
Pentingnya melakukan konstruksi
mengenai pengetahuan bertujuan untuk mengetahui sesuatu bukan untuk menemukan
realitas. Dengan kata lain mengkonstruksikan pengetahuan yang sesuai dengan
pengalaman hidup manusia sehingga dapat digunakan bila berhadapan dengan
tantangan dan pengalaman-pengalaman baru.
Gagasan konstruktivisme terhadap
pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut: (1) pengetahuan bukanlah merupakan
gambaran dunia nyata belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan
melalui subyek. (2) Subyek membentuk skema kognisi, kategori, konsep, dan
struktur yang perlu untuk pengetahuan. (3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur
konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu
berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang
Kebenaran dalam Filsafat
Konstruktivisme
Pengetahuan yang telah kita miliki
selama ini bukanlah realitas dalam arti umum. Dalam filsafat konstruktivisme
menyatakan bahwa manusia tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya
secara ontologis. Adapun yang dimengerti oleh manusia adalah struktur
konstruksi kita akan sesuatu obyek. Dengan demikian para ahli konstruktivisme
tidak bertujuan untuk mengerti realitas, tetapi lebih melihat bagaimana manusia
menjadi tahu akan sesuatu.
Paham ilmu pengetahuan mengatakan
bahwa suatu pengetahuan dianggap benar apabila pengetahuan itu sesuai dengan
kenyataannya. Dengan kata lain, orang dapat membuktikan pengetahuan yang
dimiliki tentang sesuatu dengan cara membandingkan dengan realitas
ontologis-nya. Sedangkan para penganut ajaran kontruktivisme berpendapat
kebenaran itu bila ilmu pengetahuan telah teruji dengan memiliki viabilitas
yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam operasionalnya. Dalam
istilah sederhana dikatakan bahwa suatu pengetahuan yang dikonstruksikan
dikatakan benar bila dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam fenomena dan
persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.
Konstruktivisme
adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah
bentukan (konstruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
bentukan (konstruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Jika
behaviorisme menekankan ketrampilan atau tingkah laku sebagai tujuan
pendidikan, sedangkan maturasionisme menekankan pengetahuan yang berkembang
sesuai dengan usia, sementara konstruktivisme menekankan perkembangan konsep
dan pengertian yang mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat
siswa. Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua
tetap tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar
bila pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau
fenomena yang sesuai.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Jean
Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme,
sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama
halnya dengan setiap organisme harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan
untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia
berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus
ditanggapinya secaca kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan
skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan
menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara itu,
pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang. Proses tersebut
meliputi:
- Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
- Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
- Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi.
- Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
Bermakna dan Menghafal
Menurut Ausubel, ada dua macam proses belajar yakni belajar
bermakna dan belajar menghafal. Belajar bermakna berarti informasi baru
diasimilasikan dalam struktur pengertian lamanya. Belajar menghafal hanya perlu
bila pembelajar mendapatkan fenomena atau informasi yang sama sekali baru dan
belum ada hubungannya dalam struktur pengertian lamanya. Dengan cara demikian,
pengetahuan pembelajar selalu diperbarui dan dikonstruksikan terus-menerus.
Jelaslah bahwa teori belajar
Berlandaskan teori Piaget dan dipengaruhi filsafat sainsnya
Toulmin yang mengatakan bahwa bagian terpenting dari pemahaman manusia adalah
perkembangan konsep secara evolutif, dengan terus manusia berani mengubah
ide-idenya, Posner dkk lantas mengembangkan teori belajar yang dikenal dengan
teori perubahan konsep. Tahap pertama dalam perubahan konsep disebut asimilasi,
yakni siswa menggunakan konsep yang sudah dimilikinya untuk menghadapi fenomena
baru. Namun demikian, suatu ketika siswa dihadapkan fenomena baru yang tak bisa
dipecahkan dengan pengetahuan lamanya, maka ia harus membuat perubahan konsep
secara radikal, inilah yang disebut tahap akomodasi.
Tugas pendidikan adalah bagaimana dua tahap tersebut bisa
terus berlangsung dengan terus memberi tantangan sehingga ada ketidakpuasan
terhadap konsep yang telah ada. Praktik pendidikan yang bersifat hafalan
seperti yang selama ini berlangsung jelas sudah tidak memadai lagi, bahkan
bertentangan dengan hakikat pengetahuan dan proses belajar itu sendiri.
Perubahan
Dalam Pembelajaran
Lahirnya kurikulum KTSP telah mengubah paradigma baru dalam
proses pembelajaran. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber
pengetahuan, tetapi merupakan bagian integral dalam sistem pembelajaran.
Tuntutan terhadap pelayanan pembelajaran saat ini, banyak disebabkan oleh
perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karenanya, konsep
pembelajaran saat ini pun berubah dari guru mengajar menjadi siswa belajar.
Asumsi pergeseran itu, bertitik tolak pada siswa yang
diharapkan mampu meningkatkan kemampuan dirinya dalam memperkaya ilmu
pengetahuan, sikap, dan keterampilan berdasarkan kompetensi yang ada pada
kurikulum.
Pembelajaran sebagai hasil usaha siswa dan pola pembinaan
ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang
digunakan siswa sebagai bahan mentah bagi proses perenungan dan pengabstrakan.
Setiap siswa, sebenarnya telah mempunyai satu aset ide dan pengalaman yang
membentuk struktur kognitif. Untuk membina siswa dalam menemukan pengetahuan
baru, guru sebaiknya memerhatikan struktur kognitif yang ada pada mereka. Pada
proses belajar mengajar, guru tidak lagi hanya mentransfer ilmu pengetahuan,
tetapi siswa sendiri yang harus membangun pengetahuannya. Mengapa? Karena
pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap diterima
dan diingat siswa. Siswa harus mengonstruksi pengetahuannya sendiri dan memberi
makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memunculkan
ide-ide baru, memecahkan masalah, dan menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya. Dalam ide-ide konstruktif, biarkan siswa mengonstruksi sendiri
pengetahuannya. Hal ini sejalan dengan esensi konstruktivisme bahwa siswa harus
menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain.
Apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Melihat konsep dasar tersebut, pembelajaran saat ini
setidaknya menggeser paradigma dari pembelajaran yang berdasar kacamata guru menjadi
pembelajaran yang berdasarkan kacamata siswa. Artinya, saat ini bukan bagaimana
guru mengajar, tetapi bagaimana agar siswa dapat belajar. Pengertian belajar,
menurut konstruktivisme, adalah perubahan proses mengonstruksi pengetahuan
berdasarkan pengalaman nyata yang dialami siswa sebagai hasil interaksi dengan
lingkungan sekitarnya. Pengetahuan yang mereka peroleh sebagai hasil
interpretasi pengalaman yang disusun dalam pikirannya. Secara psikologis, tugas
dan wewenang guru adalah mengetahui karakteristik siswa, memotivasi belajar,
menyajikan bahan ajar, memilih metode belajar, dan mengatur kelas. Caranya?
Biarkan mereka belajar sebagai proses mengonstruksi pengetahuan dan guru
sebagai fasilitator dalam menerapkan kondisi yang kolaboratif. Siswa belajar
dalam kelompok dan siswa tidak hanya belajar dari dirinya sendiri, tetapi
belajar pula dari orang lain.
Masalahnya sekarang, bagaimana penerapan konstruktivisme
dalam pembelajaran di kelas. Guru akan banyak dituntut untuk mengubah
pembelajaran yang menekankan pada kemampuan siswa berdasarkan pengalaman nyata.
Model itu diharapkan mampu meminimalkan image bahwa siswa belajar hanya duduk,
dengar, dan catat. Oleh karena itu, pelaksanaan pembelajaran di kelas dapat
dilakukan sebagai berikut:
Pertama, tetapkan topik yang akan dibahas. Temukan ide,
opini dan perhatian siswa melalui wawancara, survei, atau interaktif pertanyaan
siswa. Kedua, respons terhadap interaksi, dengan pikiran siswa melalui
pembentukan jembatan yang dilengkapi tahapan bagi siswa untuk mengkonstruksi
ide baru. Ketiga, tarik pikiran siswa dengan mendorong kreativitas melalui
aktivitas yang mampu mendorong siswa untuk belajar mengambil risiko. Keempat,
melakukan refleksi atau evaluasi diri. Setelah itu, taksirlah kemajuan belajar
siswa melalui perubahan ide atau peningkatan hasil tes.
Kemudian, aturlah diskusi kelompok dan berikan kebebasan
kepada setiap siswa untuk membahas permasalahan utama. Berikan pula kesempatan
untuk memaparkan hasil belajar kepada siswa lain melalui presentasi. Tugas kita
(guru), mengevaluasi proses dan hasil belajar siswa. Di sinilah peran guru
sebagai fasilitator dan mediator dapat berfungsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar