Quotes

Minggu, 03 November 2013

Filsafat Kontruktivisme dalam Ilmu Pengetahuan


            Para Kontruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah inderanya. Dengan demikian manusia mengetahui sesuatu berdasarkan interaksi dengan obyek dan lingkungan melalui penglihatan, pendengaran, penjamahan, penciuman, dan merasakannya. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Maka pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak guru kepada otak murid. Oleh karena itu perlu disadari bahwa murid sendiri yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka selama ini. Semua pengetahuan yang kita peroleh merupakan konstruksi kita sendiri. Pengetahuan tidak seperti barang yang dapat ditransfer (dialihkan) begitu saja dari pikiran yang mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang belum mempunyai pengetahuan.
Apabila seorang guru bermaksud mentransfer (memindahkan) konsep, ide, dan pengertiannya kepada seorang murid, pemindahan itu harus ditafsirkan dan dikonstruksikan oleh seorang murid lewat pengalamannya selama ini maka tidak heran selama ini banyaknya murid yang salah menangkap apa yang diajarkan guru mereka sehingga menunjukkan bahwa pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan begitu saja, melainkan harus dikonstruksikan atau minimal ditafsirkan sendiri oleh murid.
Secara efektif agar seseorang dapat melakukan proses konstruksi diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut:
1.      kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman.
2.      kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai persamaan dan perbedaan, dan
3.      kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dengan yang lainnya.
Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengetahuan sangat penting kerena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting agar dapat menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus dan dapat melihat kesamaan serta perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Menurut Jean Piaget, 1970 membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan, yaitu;
(1)  aspek figuratif, dan (2) aspek operatif. Aspek berfikir figuratif adalah imajinasi keadaan sesaat dan statis yang meliputi suatu persepsi, imajinasi, dan gambaran mental seseorang terhadap obyek atau fenomena. Aspek berfikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari suatu tingkatan ke tingkatan lain. Setiap tingkat keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Dengan demikian aspek yang lebih penting dari berfikir adalah aspek operatif sebab memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari satu tingkatan tertentu ke tingkatan yang lebih tinggi.
Pentingnya melakukan konstruksi mengenai pengetahuan bertujuan untuk mengetahui sesuatu bukan untuk menemukan realitas. Dengan kata lain mengkonstruksikan pengetahuan yang sesuai dengan pengalaman hidup manusia sehingga dapat digunakan bila berhadapan dengan tantangan dan pengalaman-pengalaman baru.
Gagasan konstruktivisme terhadap pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut: (1) pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia nyata belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui subyek. (2) Subyek membentuk skema kognisi, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. (3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang

Kebenaran dalam Filsafat Konstruktivisme
Pengetahuan yang telah kita miliki selama ini bukanlah realitas dalam arti umum. Dalam filsafat konstruktivisme menyatakan bahwa manusia tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Adapun yang dimengerti oleh manusia adalah struktur konstruksi kita akan sesuatu obyek. Dengan demikian para ahli konstruktivisme tidak bertujuan untuk mengerti realitas, tetapi lebih melihat bagaimana manusia menjadi tahu akan sesuatu.
Paham ilmu pengetahuan mengatakan bahwa suatu pengetahuan dianggap benar apabila pengetahuan itu sesuai dengan kenyataannya. Dengan kata lain, orang dapat membuktikan pengetahuan yang dimiliki tentang sesuatu dengan cara membandingkan dengan realitas ontologis-nya. Sedangkan para penganut ajaran kontruktivisme berpendapat kebenaran itu bila ilmu pengetahuan telah teruji dengan memiliki viabilitas yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam operasionalnya. Dalam istilah sederhana dikatakan bahwa suatu pengetahuan yang dikonstruksikan dikatakan benar bila dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah
bentukan (konstruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Jika behaviorisme menekankan ketrampilan atau tingkah laku sebagai tujuan pendidikan, sedangkan maturasionisme menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan usia, sementara konstruktivisme menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secaca kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang. Proses tersebut meliputi:
  1. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
  2. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
  3. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi.
  4. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.

Bermakna dan Menghafal
Menurut Ausubel, ada dua macam proses belajar yakni belajar bermakna dan belajar menghafal. Belajar bermakna berarti informasi baru diasimilasikan dalam struktur pengertian lamanya. Belajar menghafal hanya perlu bila pembelajar mendapatkan fenomena atau informasi yang sama sekali baru dan belum ada hubungannya dalam struktur pengertian lamanya. Dengan cara demikian, pengetahuan pembelajar selalu diperbarui dan dikonstruksikan terus-menerus. Jelaslah bahwa teori belajar
Berlandaskan teori Piaget dan dipengaruhi filsafat sainsnya Toulmin yang mengatakan bahwa bagian terpenting dari pemahaman manusia adalah perkembangan konsep secara evolutif, dengan terus manusia berani mengubah ide-idenya, Posner dkk lantas mengembangkan teori belajar yang dikenal dengan teori perubahan konsep. Tahap pertama dalam perubahan konsep disebut asimilasi, yakni siswa menggunakan konsep yang sudah dimilikinya untuk menghadapi fenomena baru. Namun demikian, suatu ketika siswa dihadapkan fenomena baru yang tak bisa dipecahkan dengan pengetahuan lamanya, maka ia harus membuat perubahan konsep secara radikal, inilah yang disebut tahap akomodasi.
Tugas pendidikan adalah bagaimana dua tahap tersebut bisa terus berlangsung dengan terus memberi tantangan sehingga ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Praktik pendidikan yang bersifat hafalan seperti yang selama ini berlangsung jelas sudah tidak memadai lagi, bahkan bertentangan dengan hakikat pengetahuan dan proses belajar itu sendiri.

Perubahan Dalam Pembelajaran
Lahirnya kurikulum KTSP telah mengubah paradigma baru dalam proses pembelajaran. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi merupakan bagian integral dalam sistem pembelajaran. Tuntutan terhadap pelayanan pembelajaran saat ini, banyak disebabkan oleh perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karenanya, konsep pembelajaran saat ini pun berubah dari guru mengajar menjadi siswa belajar.
Asumsi pergeseran itu, bertitik tolak pada siswa yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan dirinya dalam memperkaya ilmu pengetahuan, sikap, dan keterampilan berdasarkan kompetensi yang ada pada kurikulum.
Pembelajaran sebagai hasil usaha siswa dan pola pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan siswa sebagai bahan mentah bagi proses perenungan dan pengabstrakan. Setiap siswa, sebenarnya telah mempunyai satu aset ide dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif. Untuk membina siswa dalam menemukan pengetahuan baru, guru sebaiknya memerhatikan struktur kognitif yang ada pada mereka. Pada proses belajar mengajar, guru tidak lagi hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi siswa sendiri yang harus membangun pengetahuannya. Mengapa? Karena pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap diterima dan diingat siswa. Siswa harus mengonstruksi pengetahuannya sendiri dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memunculkan ide-ide baru, memecahkan masalah, dan menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya. Dalam ide-ide konstruktif, biarkan siswa mengonstruksi sendiri pengetahuannya. Hal ini sejalan dengan esensi konstruktivisme bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Melihat konsep dasar tersebut, pembelajaran saat ini setidaknya menggeser paradigma dari pembelajaran yang berdasar kacamata guru menjadi pembelajaran yang berdasarkan kacamata siswa. Artinya, saat ini bukan bagaimana guru mengajar, tetapi bagaimana agar siswa dapat belajar. Pengertian belajar, menurut konstruktivisme, adalah perubahan proses mengonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman nyata yang dialami siswa sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pengetahuan yang mereka peroleh sebagai hasil interpretasi pengalaman yang disusun dalam pikirannya. Secara psikologis, tugas dan wewenang guru adalah mengetahui karakteristik siswa, memotivasi belajar, menyajikan bahan ajar, memilih metode belajar, dan mengatur kelas. Caranya? Biarkan mereka belajar sebagai proses mengonstruksi pengetahuan dan guru sebagai fasilitator dalam menerapkan kondisi yang kolaboratif. Siswa belajar dalam kelompok dan siswa tidak hanya belajar dari dirinya sendiri, tetapi belajar pula dari orang lain.
Masalahnya sekarang, bagaimana penerapan konstruktivisme dalam pembelajaran di kelas. Guru akan banyak dituntut untuk mengubah pembelajaran yang menekankan pada kemampuan siswa berdasarkan pengalaman nyata. Model itu diharapkan mampu meminimalkan image bahwa siswa belajar hanya duduk, dengar, dan catat. Oleh karena itu, pelaksanaan pembelajaran di kelas dapat dilakukan sebagai berikut:
Pertama, tetapkan topik yang akan dibahas. Temukan ide, opini dan perhatian siswa melalui wawancara, survei, atau interaktif pertanyaan siswa. Kedua, respons terhadap interaksi, dengan pikiran siswa melalui pembentukan jembatan yang dilengkapi tahapan bagi siswa untuk mengkonstruksi ide baru. Ketiga, tarik pikiran siswa dengan mendorong kreativitas melalui aktivitas yang mampu mendorong siswa untuk belajar mengambil risiko. Keempat, melakukan refleksi atau evaluasi diri. Setelah itu, taksirlah kemajuan belajar siswa melalui perubahan ide atau peningkatan hasil tes.
Kemudian, aturlah diskusi kelompok dan berikan kebebasan kepada setiap siswa untuk membahas permasalahan utama. Berikan pula kesempatan untuk memaparkan hasil belajar kepada siswa lain melalui presentasi. Tugas kita (guru), mengevaluasi proses dan hasil belajar siswa. Di sinilah peran guru sebagai fasilitator dan mediator dapat berfungsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar