Biografi Imam Al Ghazali
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di
telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf.
Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam.
Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum
muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga
setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah
hidup beliau.
Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad
bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali. Para ulama nasab berselisih dalam
penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama
beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan
oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah
seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin
Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah
anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah
salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al
Ghazzali).
Sebagian
lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian
keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian
pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali
adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang
pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah
Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al
Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar,
ini pendapat Al Khafaji.
Yang
dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir
dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan
kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah
dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan
memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad.
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang
dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia
mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang
baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis
Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya
ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh
dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah
meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah
harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat
melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia
berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian
dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta.
Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai
penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu
keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan
dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau
berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu
enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.”
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir
yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat
pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan
mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka
(ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih.
Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada
Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya
Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang
yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi
ceramah nasihat.
Imam
Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh
Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan
untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat.
Kemudian pulang ke Thusi.
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada
Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai
dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan,
ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli
ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang
membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini.
Setelah
Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul
Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau
menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul
Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya
untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan
mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah
beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu
kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti
kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau
menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja
kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam
hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar
meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat
dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah
Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.”
Hal
ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan
tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam,
cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.”
Demikianlah
Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul,
tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu
kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan
meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun
beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran
Islam yang hakiki.
Adz
Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat,
yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam
beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan
agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar
dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat
mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa.
Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu
Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah
binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya
dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena
itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu
Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat,
kemudian ingin keluar dan tidak mampu.”
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak
membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik
(perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga
menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa.
Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya
yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada
tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian
menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di
menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh
Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al
Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al
Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para
ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu
Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10
tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’
Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin
Ubaidilah Al Hafshi.”
Disampaikan
juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk)
mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H.
Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud,
berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke
Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah.
Kemudian kembali ke Thusi.” Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa
Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai
akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah
beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu
dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di
samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa
waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar
para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai
meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali
mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi,
“Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul
dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya
beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat.
Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali
beberapa orang putri.”
Abul
Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat
Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin,
saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan
saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua
matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.”
Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal
sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal
14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat
Asy Syafi’iyah 6/201).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar